Sunday, July 12, 2015

Preman Pensiun dari kacamata saya yang bermata tapi tidak berkaca

Humanisasi? Apa itu humanisasi? Emang ada kata itu di kamus? Entahlah, cuma buat saya, kata yang berakhir dengan -isasi terdengar keren. Modernisasi, Mobilisasi, Kriminalisasi, sepiring nasi, dan lain sebagainya. Hehehe.

Preman Pensiun ini... KOCAK, serius! KOCAK!
Gimana nggak kocak? Ada orang gede, gondrong, sangar, yang kalo ditanya selalu menjawab dengan capslock "APA!" yang orangnya kayak gini

Tiba-tiba menjadi gini waktu ditelepon sama Kang Mus, atau sama istrinya!


 Atau kekocakkan duet maut antara Murat dan Pipit? Kekonyolan kelompok copet Ubed, Junaedi, Saep, Dewi? Gobang, Boim, Cecep? Dan karakter-karakter lainnya.

Daya tarik utama sinetron ini memang dari sisi komedinya yang cukup menonjol. Tapi jangan dilupakan ada sisi drama juga yang ditampilkan, sisi lain dari keseharian orang-orang yang berprofesi sebagai preman. Kerennya sih sisi manusiawi para preman.

Bahwa seperti KAng Bahar, yang begitu berkharisma dan disegani ternyata begitu menyayangi keluarganya. Tentang seorang Muslihat yang berjuang meningkatkan taraf hidup keluarganya, tentang Komar yang takut istri, dan sebagainya.

Saya akan langsung membahas mengenai ketertarikan utama saya terhadap sinetron ini. Tapi hanya beberapa poin saja yang menjadi ketertarikan saya.
Keunggulan sinetron ini ada pada komedi yang kuat, cerita yang padat, karakter dan dialog yang matang. Lalu apa yang dibahas?
Oh iya, saya bicaranya tentang keseluruhan ya, Preman Pensiun 1 dan preman pensiun 2, oke, lanjut.

Pertama.
Adalah tentang humanisasi yang tadi disebut di atas. Memanusiakan preman-preman ini.
Gini, kita tahu bahwa yang namanya preman adalah raja atau penguasa kecil sebuah daerah yang meraih kekuasaan dengan cara kekerasan. Tapi di sinetron ini, premanisme dibalut dengan apik dengan kemasan sebuah "bisnis" yang dirintis oleh Kang Bahar.
Uniknya, ketika seluruh lapisan masyarakat memandang premanisme ini sebagai sesuatu yang buruk, di sinetron ini premanisme adalah sesuatu yang "wajar" karena premanisme di sini adalah tidak lain dari sebuah badan usaha yang memilik sistem dan memilki kantor. Jadi segala macam alasan yang menurut masyarakat adalah alasan yang mengada-ada, dalam sinetron ini menjadi alasan yang memang wajar. Menjadi sebuah sebab yang memang muncul sebagai sebab-akibat dalam dunia bisnis. Ada pasar, ada produsen. Ada yang membutuhkan jasa, ada yang menyediakan jasa. Suply and demand.
Wajar, sangat wajar. Walaupun KAng Bahar sendiri sudah mengakui bahwa bisnis yang dibangun adalah bisnis yang bagus tapi bukan bisnis yang baik.

Kedua.
Dialog yang matang.
Ada satu dialog yang menjadi kunci poin pertama diatas. Saya nggak hafal dialognya, tapi kira-kira begini. Dialog ini terjadi antara Kang Mus dan Gobang di atas jembatan terminal.
"Tugas kita adalah membantu para sopir mendapatkan penumpang, membantu penumpang mendapat angkutan. Kalau ada orang tua atau perempuan yang membawa barang yang banyak, maka kita harus bantu. Setelah itu baru kita berhak mendapat imbalan."
atau dialog ntara Cecep dan Kang Mus ketika Cecep menagih iuran dan meminta tambahan untuk buka puasa. Lalu KAng Mus bilang.
"Kita hanya boleh menerima apa yang menjadi hak kita, jangan meminta lebih!"

Dialog Murat dan Dikdik.
"Para pedagang minta keringanan, katanya minta nagih iurannya sore karena dagangannya baru ramai sore hari."

Dialog Saep dan Putri beserta dua orang mantan anak buah Saep, mantan anak buah copetnya mennggalkan Saep lalu bertemu di suatu kesempatan.
Saya lupa, dialognya panjang. tapi ada yang catchy "Putri, soal saya mau sama kamu tapi kamu nggak mau sama saya itu hanya keinginan personal, tapi tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan kamu meninggalkan saya..."
Di sini dia bicara sangat logis dan jelas beda antara hubungan profesional dan hubungan personal. Hahahaha

Dan banyak lagi dialog-dialog lain yang matang.

Segala macam kelebihan akan dan sudah diutarakan oleh ribuan penggemar lainnya. Saya mau menyampaikan yang menuru saya justru kurang dalam sinetron ini.

Pertama.
Latar belakang.
Kita tahu bahwa seorang Bahar adalah preman yang disegani, tapi kita tahunya hanya dari cerita Kang Mus, hanya itu. tapi belum pernah memperlihatkan kedigdayaannnya sebagai orang yang disegani. Kalau dia terlihat begitu perkasa itu hanya di antara orang-orang yang dia kenal atau yang pernah punya urusan sama dia.
Tapi belum pernah saya lihat dia berurusan dengan orang yang tidak dia kenal dan orang asing tersebut terpengaruh oleh, entah gaya bicaranya, entah gesturenya, atau caranya memberikan solusi terhadap sebuah masalah.
Dan hal ini berlaku juga dengan Kang Mus. Dia hanya terlihat perkasa ketika berhadapan dengan Jamal.

Kedua.
Dialog.
Walaupun ada dialog yang matang dan gurih, tapi ada juga dialog yang menurut saya terlalu panjang.
Misalkan, misalkan aja ini mah ya.
"Kamu kenapa begitu?"
"BEgitu gimana?"
"Ya begitu itu."
"Jadi bingung."
"Bingung kenapa?"
"Begitu kenapa saya begitu?"
"Begitu gimana?"
Dan seterusnya...

Buat saya pribadi, dialog ini agak sia-sia, memang tidak semua dialog harus serius mengingat ini cerita komedi. tapi kalo kepanjangan macam gitu, maka momen komedinya jadi hilang, alih-alih lucu malah jadi dialog yang sia-sia.

Ketiga.
Flow, apa ya bahasa Indonesianya? Pokoknya begitulah ya.
Maksudnya begini.
Cerita ini kan cerita santai. Tapi ada juga bagian-bagian yang gawat. Ketika Jamal bikin masalah, ketika Bahar meninggal, dan sebagainya. Itu adalah bagian cerita yang gawatnya, bagian yang seriusnya. Nah, bagian yang santainya misalkan interaksi antara para preman dengan anggota keluarganya, atau cerita seputar kelompok copet.
Bagian ini menurut saya kurang terbagi rata sehingga mengakibatkan cerita ini agak "ngambang"

Keempat.
Stereotype.
Preman Pensiun ini adalah sebuah sinetron. Dan seperti sinetron lainnya, semua karakter terjebak ke dalam sebuah sumur yang dangkal.
Maksudnya begini.
Karakter yang ada di dalamnya, ya begitu-begitu aja, tidak manusiawi.
Kita ambil contoh Komar.
Dia galak, sangar, tapi takut istri, terus saja begitu. Tapi tidak dieksplorasi lagi kenapa dia bisa menjadi pemimpin di pasar, padahal dibanding Iwan, jelas Iwan lebih unggul, baik secara ukuran badan maupun kemampuan berkelahi. JAdi harusnya Komar memunculkan sesuatu yang lain yang membuat dia pantas memimpin pasar.
Kang Mus juga begitu, selalu tampak sempurna, tidak pernah keclongan. Mungkin kecoongan akan menurunkan wibawa Kang Mus, tapi bisa diakali dengan langkah antisipasi untuk menebus kecolongannya dia itu.

Tapi lepas dari segala macam kekurangan itu, Preman Pensiun tetap memikat dan mencuri perhatian sampai menumbuhkan harapan akan munculnya sinetron-sinetron yang baik seperti sinetron Preman pensiun ini.

Aktor-aktor yang muncul di sinetron ini pun cukup piawai dalam membawakan perannya, Baik itu Epi Kusnandar sampai aktor-aktris lain yang mungkin belum cukup terdengar. Kenapa? Karena walaupun kita ngakak guling-guling melihat atau mendengar dialog dari Kang Pipit. Percayalah, dia tidak selucu itu kalau bertemu langsung!

Dan yang menarik dari karakter di sini, mereka sebenarnya kaya semua! Nggak ada yang bbman atau smsan, mereka langsung telepon kalo ada apa-apa.

Ya ini mah hanya sekedar pandangan saja, cuma pendapat aja. Semoga bisa diterima, da saya mah apa atuh, cuma seorang pemuda tampan yang sok tahu.

Update, mungkin akan ada.
Sanggahan, diskusi, tambahan, dan bantahan, sangat bisa diterima.

No comments:

Post a Comment