Monday, May 30, 2016

Dilema

Di tengah lingkungan yang serba sempit ini, saya beruntung tinggal di rumah mertua yang punya sedikit lahan lebih di depan rumah yang bisa dipakai buat main anak lari-lari, jemur baju, bercocok tanam walaupun yang ditanam cuma pohon cengek-surawung-daun bawang-sawo cebol. Bisa dipakai buat cuci motor, belajar motor, pertandingan timnas, dan latihan F1.

Dan musim mau kemarau-tapi masih ujan ini adalah musim bercengkramanya kupu-kupu, capung, londok, belalang sembah, dan nenek-nenek sekitar rumah. Karena kalo pagi mataharinya enak dinikmati.

Bocah-bocah juga begitu, sambil lewat sambil nyari londok atau simeut. Menyenangkan melihat mereka berburu serangga, teriakan antusias dan pekik kekecewaan mereka sangat khas ketika menemukan dan kehilangan simeut itu.

Masalahnya adalah, mereka nginjek-nginjek tanaman yang susah payah ditanam sama mertua saya. Untung saya nggak punya genkidama, kalo ada udah saya tembak bocah-bocah itu. Ini kan dilema ya? Senang melihat suasananya tapi sebel sama kelakuan bocah-bocah itu.

Dilema kan?

Lalu apa hubungannya dengan catatan roda dua ini? Apa hubungannya? Nggak ada, cuma kebetulan bocah-bocah itu lewat, jadi aja saya tulis.

Saya kayak ibu-ibu gosip ya? Ada apa dikit diomongin hahaha

Atan tetati, gini... ini sedih ceritanya nih.

Di ekspedisi ini pembagian wilayahnya per kecamatan domisili. Saya kebagian dua kecamatan karena domisili memang daerah situ. Waktu awal masuk sih barangnya belum banyak, masih bisa handle. Lalu datang orang baru, dia pegang kecamatan satunya. Beban saya berkurang banyak. Ashar itu maksimal, pasti udah beres.

Nah seminggu terakhir agak horor nih, orang itu nggak masuk. Barang saya sedikit.

"Barangnya segimana, Pak?" Kata pengawas.
"Dua belas," kata saya.
"Ya udah, bawa aja yang itu, dikit juga kok," kata pengawas lagi.

Saya itung, total jadi dua puluh. Oke, tidak masalah. Dan selesai sekitar maghrib, karena saya harus meraba daerah yang saya nggak tahu.

Saya pikir dia nggak masuk satu atau dua hari aja, nggak tahunya sampe hari ke empat dia masih nggak masuk. Saya liat barangnya banyak. Saya samperin bos saya.

"Pak, barang yang ini saya bawa juga?" Tanya saya.

Si bos celingukan, berkacak pinggang, terus terbang, lho?

Enggak, si bos geleng-geleng. "Dia nggak masuk lagi?"
"Enggak, kata temennya sih dia sakit," kata saya.
"Sakit apa? Nggak punya duit?" Kata si bos.

Wah, kalo nggak punya duit mah itu penyakit semua orang. Penyakit paling mematikan, karena penyakit nggak punya uang memang tidak membunuh badan secara langsung, tapi bisa membunuh hati dan pikiran #beraaaat

Lanjut
Terus si bos bilang gini. "Ya udah kamu aja yang bawa, mau gua coret aja, pusing gue!"

DHUAARR!!
Mampus gue! Barangnya banyak. Dan selama seminggu terakhir saya kirim minimal tiga puluh, bahkan beberapa hari yang lalu saya kirim empat puluh lima alamat. Saya nggak tahu apakah itu masuk banyak atau enggak. Untuk kurir tiga huruf mungkin biasa, tapi buat saya, saya capek. Selesai di atas maghrib, jam delapan. Lelah.

Nah, suatu hari pas saya lagi di jalan, lagi istirahat di bawah pohon, pinggir jalan komplek mewah. Si kawan ini sms saya, nanyain kenapa nggak bisa login. Lalu dia kasih pin dan password dia. Sebelumnya saya cobain dulu punya saya, saya bisa dan ternyata punya dia memang nggak bisa.

Berarti benar, dia udah dicoret. Dia panik, dia nanyain soal uang bensin dan sebagainya yang memang hak kami. Dengan pahit saya bilang kemungkinan sih angus.

Dan ternyata dia bilang kalo dia sakit, saya suruh aja dia ke kantor. Dia nanya kantor apa, saya bilang kantor KUD, ya kantor kita lah! Orang panik sendiri malah becanda!

Nggak tahu deh udah ke kantor apa belum, saya belum ketemu.

Inilah yang jadi bikin dilema.
Di satu sisi saya kasihan, karena sakit nggak bisa dihindari. Tapi di sisi lain kenapa dia nggak kasih kabar. Si bos kan kecewa, berasa di php, digantung. Cowok mana yang suka digantung?

Di satu sisi saya merasa, sukurin, makanya kerja yang bener.

Gaji yang kami terima memang kecil. Tapi menurut saya, besar atau kecil gaji yang kita terima ya itu tanggung jawab kita. Dan resiko kita ketika kita terima kerjaan itu.

Saya kasihan, karena dia, saya, dan rekan lain adalah orang yang butuh. Makanya walau hasilnya sedikit. Tetap kami kerjain kerjaan itu, mana bentar lagi puasa. Pasti butuh. Paham kan?

Tapi di sisi lain saya menyesalkan, kenapa dia begitu. Kurang etis, saya nggak tahu alasannya apa, tapi kurang etis aja.

Kenapa saya lihat dari sisi itu? Karena kalo dilihat dari tengah, ketabrak.

Dan sekarang, badan saya rontok! Tolooong!

Sunday, May 8, 2016

Yang pertama selalu yang... uh...

Kalo membahas sesuatu yang bersifat pertama itu selalu terasa mengesankan. Misalkan juara pertama, posisi pertama, pacar pertama, honor pertama, malam pertama, goceng pertama, dan sebagainya...

Tapi untuk cewek nggak semua yang pertama itu menyenangkan. Coba aja tanya cewek soal mantan yang jalan sama pacar barunya pas dia lagi hari pertama menstruasi. Kalo kita masih dalam keadaan utuh dan tidak berubah jadi kue cubit, kita sudah bisa dikatakan beruntung.

Atau soal kali pertama? Pertama kali jatuh cinta, pertama kali patah hati. Nah saya mau cerita soal hari pertama, hari pertama dunia ini diciptakan *beraaaaat :D

Saya mau cerita soal hari pertama kerja. Sebelum membahas ini timbul pertanyaan, apakah penting membahas hari pertama kerja? Ya enggak! Tapi saya orangnya ngeyel, jadi saya tetep cerita.

Buat yang sudah bekerja, proses ngelamar kerja itu umumnya gimana sih? Setahu saya, pertama kita mengajukan lamaran, lalu wawancara, lalu tes, dan keputusan apakah kita lolos seleksi atau tidak.

Beberapa tempat mungkin ada psikotes dan sebagainya, tapi gampangnya gitu aja lah ya.

Nah, saya juga mengalami begitu. Saya melamar kerja di perusahaan logistik bernama Wahana, bergerak di bidang pengiriman paket baik besar atau kecil. Nah, saya ngelamar di situ. Saya datang, diliat lamarannya, terus ada penjelasan soal jobdesc, terus disuruh nunggu seminggu. Setelah tiga hari lewat, nggak ada panggilan. Udah was was nih, seminggu lewat nggak ada panggilan juga, ya sudah berarti nggak lolos.

Di situ saya mikir, kok nggak lolos ya? Saya percaya rejeki ada yang ngatur, kalo sudah rejekinya ya berarti milik kita, kalo bukan ya bukan. Tapi saya juga percaya bahwa rejeki itu harus dicari, diusahakan. Jadi sebelum saya mengikhlaskan, saya evaluasi dulu. Saya buka file lamaran saya. Saya cek, ok, lamaran menggunakan bahasa Indonesia yang saya rasa baik dan benar, saya nggak pake bahasa Swahili. Saya tulis lamaran pake huruf latin, bukan pake sandi rumput.

Lalu saya ingat-ingat lagi, saya print di atas kertas biasa, bukan di atas daun lontar, atau dipahat di atas batu.

Memang waktu ngelamar ada yang pake tulisan tangan. Konon katanya tulisan tangan lebih disukai karena bisa digunakan untuk membaca kepribadian. Tapi tulisan tangan saya itu istimewa. Kalo saya pake tulisan tangan, takutnya malah disangka kode rahasia peluncuran nuklir, nanti saya ditahan, kan bisa batal kerja.

Dari situ baru saya bilang, belum rejeki, can milikna, kalo kata orang sunda.

Tapi semesta suka bercanda, selang satu-dua bulan kemudian, nongol lagi info lowongan kurir di tempat yang sama. Saya konsultasi sama istri saya, ngelamar lagi jangan? Katanya coba lagi, ya saya coba lagi.

Saya tulis lagi lamaran, dengan perbaikan. Misalkan dengan menulis pengalaman kerja yang lebih lengkap walaupun nggak ada hubungan sama dunia kurir.

Catatan, pengalaman kerja adalah sesuatu yang kita kerjakan dan kita mendapat upah dari situ. Jadi kalo stalking tl mantan, itu bukan kerjaan, walaupun stalking itu kata kerja.

Nah ini masalahnya, saya pikir akan seperti pertama ngelamar prosesnya. Kasih lamaran, penjelasan, dan penantian. Ternyata enggak. Saya kasih lamaran, langsung wawancara, dan training hari itu juga. Jadi hari itu saya langsung ngirim barang. Saya dikasih sembilan, biar nggak kaget. Tahu aja mereka saya orangnya kagetan, saya bersin aja suka kaget sendiri.

Dan berangkatlah saya ke alamat tujuan, empat barang pertama lancar, selanjutnya, hujan. Nggak gede, tapi basah. Hujan reda saya lanjut lagi. Dan ternyataaa....

Saya meremehkan kekuatan hujan, walaupun tak deras tapi berhasil menembus jaket. Aneh, padahal secara periodik saya harusnya nggak tembus pada tanggal itu *ehgimana?

Saya panik! Dari kantor saya disuruh balik lagi kalo udah beres, tapi karena saya dilanda panik disebabkan oleh basahnya kertas resi yang saya bawa, maka saya nggak langsung pulang, saya berangkat dulu ke Raja Ampat buat menenangkan pikiran dan di sana saya bertemu dengan Bu Kek Siansu dan saya disuruh pulang *iniapaaa!!

Karena panik, saya pulang. Dan melihat kertas basah, otomatis harus dikeringkan, gimana caranya dikeringkan kalo nggak ada matahari? Pake setrika!

Ya gimana lagi, yang nyampak hareupeun beungeut ya cuma benda itu, jadi saya manfaatkan setrika itu untuk mengeringkan kertas selayaknya anak kos bikin roti bakar.

Dan ternyata, kertasnya ada dua jenis. Yang satu hvs biasa, yang satu lagi semacam kertas fax, yang ketika kena panas jadi gosong! Panik lagi, kok bisa tolol saya!

Dengan pasrah, saya bawa kertas itu ke kantor, dan mereka maklum. Tidak masalah, nomer resi masih terbaca. Aman. Dan terjadilah dialog berikut...

"Tadi barang berapa?" Tanya Bos.
"Sembilan, Pak," jawab saya.
"Sembilan ya," kata si Bos lagi.
Lalu ketak-ketik komputer. "Tapi di catatan sini sepuluh," kata si Bos.

JEDEEEER!!!!
suara petir.

Dan saya kaget, karena petir. Dan karena di catatan barang ada sepuluh, tapi yang saya bawa cuma sembilan. Berarti kurang satu! Kurang satuu!! Kurang satuuu!!!

"Tapi di saya cuma ada sembilan, Pak," kata saya, karena saya yakin, yakin seyakin kalo saya ini ganteng... *hmm

"Coba diinget lagi," kata si Bos. "Siapa tadi pengawasnya?"

"Pak Budi,"
Lalu saya coba inget-inget lagi. Seekor cicak lewat di tembok, saya jadi bertanya apa yang terjadi kalo cicak itu tepuk tangan. Lalu, aha! Saya ingat! Tadi saya bawa sembilan, tapi ada yang nitip, jadi memang sepuluh barangnya, tapi seinget saya, nitipnya nggak jadi. Jadi tetap sembilan. Sayangnya saya nggak inget siapa yang titip.

Akhirnya saya disuruh pulang, dan kembali lagi hari senin untuk dipertemukan dengan pengawas. Ih saya jadi deg-degan!

Yang ada di benak saya cuma hal-hal yang buruk. Bayangkan, hari pertama tapi saya melakukan kesalahan yang bisa dibilang fatal! Gimana kalo ternyata memang sepuluh dan jatuh di jalan, saya harus ganti dong! Kerja belum, gajian belum tapi udah harus keluar duit buat ganti.

Sepanjang jalan pikiran saya nggak tenang, mikirin kemana barang saya yang satu itu ilangnya. Saya lemes karena barang saya ilang. Belum pernah saya selemes itu, padahal barangnya cuma satu, mungkin aja nyelip atau salah posisi. Tapi pikiran saya tetap mengatakan kalo barang saya ilang.

Saya cerita ke istri saya, dan dia bilang apa? Nggak bilang apa-apa, orang dia udah tidur. Membantu sekali ya cerita ke orang tidur. Tapi kemudian dia bangun, dan saya cerita. Dia bilang berdoa aja, siapa tahu kebawa sama orang lain.

Sepanjang malam saya nggak bisa tidur, entah karena pikiran yang berkecamuk, entah karena saya masih melek.

Hari pertama dimana semua orang berusaha mati-matian membuat kesan pertama yang baik, saya malah melakukan kesalahan, yang bahkan saya nggak ada niat untuk bikin.

Pikiran-pikiran buruk menghantui. Teh hangat yang menjadi obat mujarab semua penyakit lahir maupun batin tak mampu menenangkan hati, orang tehnya nggak ada.

Saya cuma bisa berdoa, semoga tidak terjadi hal yang buruk. Kalaupun saya tidak berjodoh kerja di sana, paling tidak saya ingin pergi tanpa meninggalkan kesan buruk. Yang dengan kejadian tadi, entah apakah mungkin untuk tidak meninggalkan kesan buruk.

Saya berusaha untuk tidur, tapi nggak bisa. Setelah saya merem, baru bisa tidur. Tapi saya bangun lagi, pintu belum dikunci. Setelah itu baru saya tidur, di pintu.