Thursday, June 30, 2022

NOVELA SEJARAH SEBAGAI TRIGGER

 



Beberapa waktu yang lalu, Pandi lewatProgram Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN) mengadakan sebuah acara talkshow lewat live IG dipandu oleh kak Evi Sri Rezeki, dengan tema Sejarah dan Budaya dalam Novela Platform Digital bersama seorang sesembak narasumber bernama Eva Sri Rahayu sebagai penulis novela berjudul Labirin 8. Yang semenjak mulai ditulis sampai sekarang masih terjebak di labirin.

Fun fact tentang acara ini adalah, kalau diperhatikan dengan lebih seksama, muka host sama narasumber ternyata sama! Miripnya banyak lah! Keren banget, entah gimana ngeditnya, jago itu!

Anyway...

Menulis sebuah cerita berlatar belakang sejarah itu sulit sih, jauh lebih sulit dibanding nulis komen julid di IG lelambean. Karena bayangkan ketika kita sudah menulis, terus ada yang komen “Hei, jaman Majapahit belum ada Ipad ya!” kan efeknya nggak enak ya? Makanya menulis cerita sejarah itu berat, terutama bagian riset.

Nah, udah tahu susah, ngapain sih si sesembak ini nulis novela sejarah? Singkatnya sih setelah mengalami roller coaster dalam kehidupan, dia tertarik pada sejarah dan melibatkan diri dalam penelitian budaya Indonesia. Dengan keasyikannya meneliti budaya, dia pun jatuh cinta. Nah novela Labirin 8 ini bisa dibilang sebagai bentuk cinta pada sejarah dan budaya Indonesia.

Saya pun bisa dibilang menyukai cerita berlatar belakang sejarah, bahkan kadang kalau saya baca, itu kayak nonton film di bioskop, yang kurang Cuma mbak-mbak tiket doang. Dan kadang saya lupa kalau ini adalah sebuah novel, fiksi, walaupun ada fakta sejarahnya juga. Saya sering tiba-tiba berpikir, emang iya begini ya? Emang iPad udah ada di Majapahit?

Mohon dimaklumi, saya memang pembaca yang dangkal, saya mengetahui sedikit tentang sesuatu, nggak tahu secara mendalam, hanya secara permukaan. Atau dalam bahasa Indonesia disebut, ogeb lah ya!

Makanya suka gemes juga ketika ada bahasan tentang novel sejarah, tapi dibawa serius gitu, ini nggak gini, ini harusnya begitu, dulu nggak gini, penulisnya kurang riset, dan lain sebagainya. tapi ini jadi menarik lho.

Bayangkan ketika seseorang membaca sebuah novel sejarah, terus dia membaca komen-komen dari 
warganet terjulid se-Asia ini. Lalu orang ini jadi tergerak buat mencari tahu, apa iya yang di abaca adalah nyata? Apa iya ada fakta sejarah dibalik cerita ini.

Misalkan di labirin 8, ceritanya tentang delapan orang yang terjebak di dalam ruang rahasia di cando Borobudur. Terus dia bertanya, emang ada yar uang rahasia? Kayak apa ruang rahasia itu? terus dia pergi ke Borobudur, terus dia mencari ruang rahasia, dia melihat relief, bertanya pada ahlinya. Dan pada akhirnya dia menjadi seorang history enthusiast beneran!

Sejarah, budaya, adalah “benda” yagn sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Tersembunyi dalam peninggalan, dalam gambar, dalam simbol yang tidak, sulit, atau belum dipahami. Tapi ada! Nah lho, gimana itu coba?

Contohnya gini deh, di zaman sekarang, kita tahu gedung-gedung bertingkat, dari mulai ruko dua lantai, sampai Burj Khalifa yang isinya entah berapa ratus ruko. Tapi kita tahu cara bikinnya, at least kita pernah liat dokumenternya deh, tahu ada alatnya, ada orangnya, ada itung-itungannya.

Tapi Borobudur? Yang berdiri ratusan atau ribuan tahun yang lalu? Zaman sekarang kita bisa ngangkut batu segede truk dengan alat khusus, tapi bagaimana dengan zaman dulu? Gimana caranya ngangkut batu segede-gede itu? Itung-itungannya, rumusnya, komposisinya. Zaman sekarang udah ada super computer yang bisa bikini tung-itungan rumit. Tapi zaman dulu? Belum ada daun lontar elektrik yang pake system AI kan?

Zaman sekarang semua catatan sejarah ada dalam catatan digital, zaman dulu? Hanya dalam bentuk relief yang perlu usaha ekstra dalam menterjemahkannya, itu pun penafisrannya masih berbeda-beda. Dan tidak hanya Borobudur. Ada prambanan, Tangkuban Perahu, Gunung Padang. Belum lagi di luar negeri ada situs yang populer seperti Piramid, Tembok Cina, dan banyak lagi yang lain.

Kalau kita pikirin sekarang, tidak, atau belum kepikiran gimana caranya membuat bangunan segede candi Bodobudur,  karena ketidakpahaman kita, kita menyimpulkan bahwa bangunan-bangungan megah itu dibangun oleh alien. Padahal ada caranya, ada itungannya, ada ilmunya. Cuma kita belum tahu aja.

Dan bayangkan perjalanan meneliti itu semua berawal dari sebuah buku fiksi, sebuah novela yang walaupun ada latar belakang sejarahnya, tapi itu adalah fiksi, imajinasi, tidak nyata, khayalan! Bayangkan sebuah cerita fiksi menjadi trigger, menjadi gerbang untuk membuka mata kita tentang sesuatu di luar sana.

Dan semua itu berawal dari sebuah novela!  Fiksi! Khayalan!

Pantesan alien nggak ada yang mau nyerang ya, “Gimana mau bikin senjata buat lawan gue, orang bikin bangunan batu aja gue yang bantuin!” Gitu kali ya yang dipikirin sama alien.

Entahlah.