Sunday, May 31, 2015

Layang-layang melayang-layang

Indonesia yang indah ini selain memilik lebih dari 13.000 pulau juga memiliki 1000 musim. Musim hujan, musim kemarau, musim duren, musim rambutan, musim demo musim razia preman, musim razia begal, musim perbaikan jalan, musim ikan lohan, musim, ikan koi, musim gelomang cinta, musim batu akik, dan tentunya musim layangan.

Kenapa ada musim layangan setelah musim batu akik? Kan judulnya soal layang-layang. Masa judulnya layang-layang tapi yang dibahas luas semesta yang tak seluas cintaku padamu?
*eaaa!

Bulan Mei dan Juni ini, kemungkinan sampai September atau Oktober, memiliki suasana yang sama persis seperti beberapa tahun yang lalu.

Seperti yang kita ketahui, bahwa dua atau tiga tahun ke belakang, cuaca di indonesia, bahkan dunia, nggak jelas. Kata para ahl si ada anomali cuaca. Pergeseran musim. Seharusnya antara bulan Maret sampai April itu adalah musim pancaroba, pertanda musim hujan berakhir. Tapi ternyata lewat April pun masih hujan.

Nah, Bulan Mei kemarin cuaca relatif cerah, kalaupun turun hujan hanya gerimis, nyiram doang biar agak adem. Dan efeknya adalah hanya awan, burung atau pesawat yang menghiasi langit, tapi juga layangan!
Menurut prediksi saya untuk beberapa bulan ke depan, Popularitas layangan akan menempati puncak klasemen, mengungguli kisruh sepakbola, korupsi, dan batu bacan.
Mungkin saking populernya, maka nanti akan ada tayangan investigasi yang menyerukan hati-hai terhadap layangan palsu, layangan sintetis, layangan gelonggongan, atau layangan dari bulu mata celeng!

Suasana ini sangat menyenangkan, seperti beberapa tahun yang lalu sebelum anomali cuaca ini terjadi. Anak-anak berkumpul di lapangan sambil berdiri memegang benang layangan, sesekali menarik benang atau mengulur benang. Sementara anak-anak ceweknya di pinggir-pinggir pada nonton. Saling ejek karena layangannya kurang tinggi. Untungnya di sekitar rumah saya masih ada tanah lapang, jadi pemandangan seperti itu masih bisa dinikmati. And it's priceless!!

Tidak hanya di tanah lapang, di loteng bahkan genteng masing-masing rumah mereka pun dijadikan ajang untuk mengadu skill menerbangkan layangan atau menjatuhkan layangan orang lain. Dan mereka tetap berkomunikasi dengan teman-temannya dengan cara berteriak.

Untungnya, baik itu yang di lapangan atau di loteng masing-masing, memainkan layangan dalam bentuk asli! Dalam bentuk belah ketupat, terbuat dari kertas dan bambu. Mereka mendongak ke langit, berdiri, jongkok, lari, dalam bentuk nyata! Bukan bermain layangan dalam bentuk aplikasi yang bisa dunduh melalui Play Store,

Kebayang mereka kumpul di lapangan sambil jongkok, nunduk ngeliatin layar tablet atau smartphone masing-masing. Nanti ada yang berubah.

Misalkan dulu ngomongnya gini... "Yah, nggak ada angin, tungguin bentar deh agak sore!"
kalo sekarang jadi gini... "Yah, nggak ada colokan, ambil power bank dulu deh!"

Atau mungkin gini.
kalo dulu ngomongnya... "Ada yang kalah! Kejaaar!!!"
kalo sekarang... "Ada yang lowbet! Rebuuut!!!"

Aneh ya?

Cuma, kalo saya pribadi sih lebih suka melihat pemandangan itu dari jauh. Saya tidak mau terlibat di dalam keramaian itu. Karena, seseru apapun melihat anak-anak dan layangannya, ada beberapa hal yang saya pribadi tidak terlalu suka tentang musim layangan ini.

Pertama.
Layangan tidak hanya diterbangkan untuk menghiasi angkasa, tapi juga untuk diadu sebagai bukti kepiawaian si empu layangan dalam menerbangkan layangannya. Nah akibatnya akan ada layangan yang kalah dan nyangkut di mana saja. Di kabel listrik misalkan, atau di antena televisi punya orang lain. Dan namanya anak-anak mereka nggak tahu layangannya nyangkut di mana. Pokoknya kalo nyangkut mereka maen tarik aja. Gimana kalo kabel listriknya mengalami korsleting? Kan bisa berbahaya, belum lagi soal estetika. Kabel listrik yang semrawut itu makin terlihat berantakan dengan bangkai layangan bergelimpangan.
Belum lagi kalo nyangkut di antena. Bikin kezel! Gambarnya kan jadi burem lagi, banyak semutnya lagi. Bayangkan berapa lama waktu yang diperlukan untuk men-seting arah antena, derajat demi derajata, senti demi senti perputaran dilakukan dengan sangat terperinci agar gambar semua stasiun televisi bisa diterima dengan jelas... tiba-tiba buyar karena ada layangan nyangkut di antena. Kzl!!

Kedua.
Anak-anaknya.
Mereka memang seru untuk dilihat, dan pemandangan keceriaan anak-anak memang sangat berharga. Tapi tidak bisa dipungkiri mereka juga menyebalkan dan bikin kezel!!
Gimana nggak bikin kezel? Mereka itu kalo ngejar layangan sembarangan! Masuk ke halaman orang nggak pake permisi, manjat pager, apalagi kalo di jalan, maen selonong aja nyebrang nggak liat-liat! Kalo ketabrak, emang mereka mau disalain? Orang tua mereka yang kelas menengah ngehek itu mau disalahin? Nggak mungkin! Pasti yang disalahin yang nabrak! Yang nabrak nyalahin siapa? Nyalahin presiden! Karena yang nabrak termasuk golongan kelas menengah ngehek juga!
Belum lagi itu anak-anak kalo ngejar pake teriak-teriak, rasanya pengen banget gue rebus mereka!!

Ketiga.
Save the best for last, yang terbaik utnuk bagian terakhir, itulah kenapa daging ayam atau gepuk di makanan kendurian selalu dihabiskan terakhir. Begitupun soal layangan ini.
Dari semua sebab saya tidak terlalu menyukai musim layangan, maka sebab ketiga ini adalah sebab yang paling mendasar, paling prinsipil, paling fundamental.
Sebab saya tidak terlalu suka musim layangan adalah...

... karena saya nggak bisa main layangan...

Untung anak saya cewek, kalo anak saya cowok... nggak kebayang, mungkin temen-temennya lagi asik maen layangan sementara dia asik di pojok lapangan ngunyah jahe.

Hiks...

No comments:

Post a Comment