Kalo kita nonton film India, film Jepang, Korea, bahkan Rusia, biasanya sih film Amerika tapi musuhnya Rusia. Ada yang unik dari film-film itu, bukan hanya soal cerita, tapi penampakan hurufnya. India, Jepan, Kore punya huruf yang unik, mereka nggak pakai huruf latin, tapi pakai huruf kanji, hangeul, atau aksara Devanagri. Nah, itu kan negara lain. Di Indonesia ada nggak ya huruf atau aksara tertentu semacam itu?
Eh
ternyata ada lho! Kita juga ternyata punya aksara sendiri, ada aksara sunda,
dan aksara Jawa. Bahkan dalam perbincangan Merajut Indonesia bersama Mas
Ridwan, ternyata aksara di Indonesia ini banyak! Dalam acara talk show melalui
media live IG antara Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) lewat program Merajut Indonesia melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN)
melawan Ridwan Maulana, seorang penulis, pegiat literasi digitalisasi aksara Indonesia.
Menyatakan bahwa di Indonesia sendiri banyak memiliki aksara. Di Sumatera ada,
di Jawa ada, bahkan Bali ada.
Nah
masalahnya gini, aksara ini tidak begitu banyak sumber informasinya, karena di
Indonesia sendiri konon katanya budaya lisan lebih kuat dibanding budaya
tulisan, makanya sumber informasi soal aksara ini sangat minim, jadi mungkin
saja sebenarnya setiap pulau, setiap provinsi, setiap suku ada bahasa dan ada
aksara sendiri-sendiri, tapi karena budaya lisan lebih kuat, makanya seolah-olah
aksara selain aksara Sunda dan Jawa seolah-olah tidak ada, padahal belum tentu
ada, hehehe…
Minat
dan ketertarikan dari Mas Ridwan untuk melestarikan aksara ini luar biasa lho,
dia mempelajari banyak literatur, banyak jurnal penelitian, baik itu yang berbahasa
Indonesia, Inggris, bahkan Belanda. Yang tidak diteliti mungkin Cuma bahasa kalbu.
Tidak hanya melakukan serangkaian penelitian, tapi juga membuat rangkuman
aksara dan pengenalan aksara Indonesia dalam bentuk blog, konten media sosial,
buku ensiklopedia, artikel terjemahan di website omniglot.com lalu membuat font-font
aksara, mendirikan writing tradition project, dan admin creator di Aksara di
Nusantara.
Beliau
ini juga pernah diundang Badan Bahasa Kemendikbud sebagai pembicara mengenai
usaha pelestarian aksara dan ekonomi kreatif dalam Gelar Wicara Peringatan Bahasa
Ibu Internasional. Bahkan sampai sekarang masih menerima dan melayani berbagai
pertanyaan tentang aksara melalui emailnya. Font-font aksara yang dibuatnya bisa
digunakan dan diunduh secara bebas dari situs aksaradinusantara.com gimana itu,
luar biasa berdedikasi sekali beliau ini ya?
Nah
sekarang gini, pertanyaannya adalah penting nggak sih kita tahu soal aksara? Penting
atau nggak penting kayaknya itu bukan hal yang terlalu penting sih, kalo
menurut saya lho ya. Tapi tidak ada salahnya bagi kita untuk tahu bahwa di
Indonesia ini ada aksara tradisional, atau aksara sendiri. nah kalau memang ada
aksara khas Indonesia, kenapa tidak digunakan? Mungkin karena setiap daerah ada
aksara sendiri kali ya? Jadi istilahnya belum ada aksara persatuan, kalo bahasa
persatuan kan ada, tapi aksara persatuan nggak ada. Mungkin ini salah satu
sebabnya aksara di nusantara nggak banyak dipakai.
Kalau
menyimak perbincangan mengenai aksara ini, ini sebenarnya menarik, tapi untuk
kalangan tertentu saja. Penggiat literasi, penyuka literasi, dan orang yang memang
menggeluti literasi. Sementara untuk orang awam kayaknya agak “rumit” apalagi
yang belum bisa baca tulis, makin rumit lagi, huruf latin aja belum bisa,
apalagi aksara kuno.
Buku,
ensiklopedia, website, bisa jadi menarik untuk orang yang menggeluti bidang
literasi. Colek aja dikit, mereka pasti langsung antusias. Sementara untuk
orang awam, perlu usaha yang ekstra. Bukan hanya usaha untuk mempelajari, tapi
usaha untuk mengenalkan apa itu aksara, bagaimana bentuknya, dan sebagainya.
Mari
kita bicara secara dangkal, karena yang nulis ini juga orangnya dangkal.
Kita
ingin mengenalkan soal aksara nusantara kepada generasi muda. Lalu kita jejali
dengan doktrin bahwa ini adalah kekayaan bangsa yang harus dilestarikan, maka
niscaya generasi muda hanya akan menanggapi dengan “Oh,” , “Oke,”, “Keren,”, “Sumpah
demi apa gue baru tahu Indonesia punya huruf kayak Hangeul!”
Tapi
ya udah, berhenti sampai di situ. Pengenalan aksara nusantara perlu dilakukan,
tapi harus ada triknya. Jangan jor-joran, gede-gedean, lalu hilang. Tapi dalam
promosi, dalam pengenalan diperlukan langakah yang kecil tapi konsisten, tidak
terputus.
Hindari
mengenalkan aksara nusantara secara filosofis, itu akan membebani pikiran. Karena
filosofi yang bisa diterima oleh generasi muda hanya filosofi kopi. Kita harus
merebut perhatian generasi muda dengan tampilan visual, tampilan yang eshthethique!
Nggak usah yang filosofis, cukup dengan, aksara nusantara ini tampilannya
keren, udah gitu aja dulu.
Nah
caranya gimana?
Nah…
gimana coba? Ada ide?